Selasa, 05 Maret 2013

FARMAKOGNOSI

Farmakognosi berasal dari dua kata Yunani yaitu Pharmakon (obat) dan Gnosis (ilmu/pengetahuan). Jadi farmakognosi adalah ilmu pengetahuan tentang obat, khususnya dari nabati, hewani dan mineral. Definisi yang mencakup seluruh ruang lingkup farmakognosi diberikan oleh Fluckiger, yaitu pengetahuan secara serentak berbagai macam cabang ilmu pengetahuan untuk memperoleh segala segi yang perlu diketahui tentang obat.

Sejarah Perkembangan Farmakognosi
Pada kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi, penggunaan tanaman obat sudah dilakukan orang,  hal  ini dapat diketahui dari lempeng tanah liat yang tersimpan di Perpustakaan Ashurbanipal di Assiria,  yang memuat simplisia antara lain kulit delima, opium, adas manis, madu, ragi, minyak jarak. Juga orang Yunani kuno  misalnya  Hippocrates  (1446 sebelum  masehi),  seorang tabib telah mengenal kayu manis, hiosiamina, gentiana,  kelembak, gom   arab, bunga kantil dan lainnya.
Pada tahun 1737 Linnaeus, seorang ahli botani Swedia, menulis buku “Genera Plantarum” yang kemudian merupakan buku pedoman utama dari sistematik botani,  sedangkan farmakognosi modern  mulai dirintis oleh  Martiuss.  Seorang apoteker Jerman dalam bukunya “Grundriss Der Pharmakognosie Des Planzenreisches” telah menggolongkan simplisia menurut segi morfologi, cara- cara untuk   mengetahui kemurnian simplisia.
Farmakognosi mulai berkembang pesat setelah pertengahan abad ke 19 dan masih terbatas pada uraian makroskopis dan mikroskopis. Dan sampai dewasa ini  perkembangannya sudah sampai ke usaha- usaha isolasi, identifikasi dan juga teknik-teknik kromatografi untuk tujuan analisa kualitatif dan kuantitatif.

Ruang Lingkup Farmakognosi
Farmakognosi  adalah  sebagai  bagian  biofarmasi, biokimia dan kimia sintesa, sehingga  ruang lingkupnya menjadi luas seperti yang  diuraikan dalam definisi Fluckiger.  Sedangkan di Indonesia saat ini untuk praktikum Farmakognosi hanya  meliputi segi pengamatan makroskopis, mikroskopis dan organoleptis yang    seharusnya juga mencakup identifikasi, isolasi dan pemurnian setiap zat yang  terkandung dalam simplisia  dan bila perlu penyelidikan dilanjutkan ke arah sintesa. Sebagai contoh :  Chloramphenicol dapat dibuat secara sintesa total, yang sebelumnya hanya dapat diperoleh dari biakkan cendawan Streptomyces venezuela.

Alam memberikan kepada kita bahan alam darat dan laut berupa tumbuhan, hewan dan mineral yang jika diadakan identifikasi dan menentukan sistimatikanya, maka diperoleh bahan alam berkhasiat obat. Jika bahan alam yang berkhasiat obat ini dikoleksi, dikeringkan, diolah, diawetkan dan disimpan, akan diperoleh bahan yang siap pakai atau simplisia, disinilah keterkaitannya dengan farmakognosi.

Simplisia yang diperoleh dapat berupa rajangan atau serbuk. Jika dilakukan uji khasiat, diadakan pengujian toksisitas, uji pra klinik dan uji klinik untuk menentukan fitofarmaka atau fitomedisin ; bahan – bahan fitofarmaka inilah yang disebut obat. Bila dilakukan uji klinik, maka akan diperoleh obat jadi.

Serbuk dari simplisia jika diekstraksi dengan menggunakan berbagai macam metode ekstraksi dengan pemilihan pelarut , maka hasilnya disebut ekstrak. Apabila ekstrak yang diperoleh ini diisolasi dengan pemisahan berbagai kromatografi, maka hasilnya disebut isolat.
Jika isolat ini dimurnikan, kemudian ditentukan sifat – sifat fisika dan kimiawinya akan dihasilkan zat murni, yang selanjutnya dapat dilanjutkan penelitian tentang identifikasi, karakterisasi, elusidasi struktur dan spektrofotometri.
Proses ekstraksi dari serbuk sampai diperoleh isolat bahan obat dibicarakan dalam fitokimia dan analisis fitokimia. Bahan obat jika diadakan uji toksisitas dan uji pra klinik akan didapatkan obat jadi. Mulai dari bahan obat sampat didapatnya obat jadi dapat diuraikan dalam skema berikut :

Hubungan Farmakognosi Dengan Botani - Zoologi
Simplisia  harus mempunyai  identitas  botani – zoologi  yang  pasti, artinya  harus diketahui dengan tepat nama latin tanaman atau hewan dari mana  simplisia tersebut diperoleh, misalnya : menurut Farmakope Indonesia ditentukan bahwa untuk Kulit Kina harus diambil dari tanaman asal Cinchona succirubra, sedangkan jenis kina terdapat banyak sekali , yang tidak mempunyai kadar kina yang tinggi. Atas dasar pentingnya identitas botani – zoologi maka nama –nama tanaman  atau hewan dalam Farmakope selalu disebut nama latin dan tidak dengan nama   daerah, karena satu nama daerah seringkali  berlaku untuk lebih dari satu macam tanaman  sehingga dengan demikian nama daerah tidak selalu memberikan kepastian identitas. Dengan demikian menetapkan identitas botani – zoologi secara tepat adalah langkah pertama yang harus ditempuh sebelum  melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dalam bidang farmakognosi.

Hubungan Farmakognosi Dengan Ilmu – Ilmu Lain 
Sebelum kimia organik dikenal, simplisia merupakan bahan utama yang harus tersedia di tempat meramu atau meracik obat dan  umumnya diramu atau diracik  sendiri oleh tabib yang memeriksa sipenderita,  sehingga dengan cara tersebut Farmakognosi  dianggap sebagai bagian dari Materia Medika. Simplisia diapotik kemudian terdesak oleh perkembangan galenika, sehingga persediaan simplisia di apotik digantikan dengan sediaan – sediaan galenik yaitu,  tingtur, ekstrak, anggur dan lain – lain.

Kemudian setelah kimia organik berkembang, menyebabkan makin  terdesaknya  kedudukan simplisia di apotik - apotik. Tetapi hal ini bukan berarti  simplisia tidak diperlukan lagi, hanya  tempatnya tergeser ke pabrik - pabrik  farmasi. Tanpa  adanya simplisia di apotik tidak akan terdapat sediaan-sediaan galenik, zat kimia  murni maupun sediaan bentuk lainnya, misalnya:  serbuk, tablet,  ampul, contohnya:  Injeksi Kinin Antipirin,  Secara sepintas Kinina antipirin dibuat secara sintetis tetapi dari sediaan tersebut hanya Antipirin saja  yang dibuat sintetis  sedangkan kinina hanya dapat diperoleh jika ada Kulit Kina, sedangkan untuk mendapatkan kulit kina yang akan  ditebang atau dikuliti adalah dari jenis Cinchona yang dikehendaki. Untuk memperoleh jenis Cinchona yang dikehendaki tidak mungkin diambil dari jenis Cinchona yang  tumbuh liar, sehingga harus ada cara pengumpulan dan perkebunan yang baik dan terpelihara. Dalam perkebunan ini farmakognosi erat hubungannya dengan ilmu-ilmu lain misalnya: Biokimia, dalam pembuatan zat-zat sintetis seperti Kortison, Hidrokortison dan lain - lainnya.
Dari contoh - contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa ruang   lingkup Farmakognosi tidak terbatas pada pengetahuan tentang simplisia yang tertera dalam Farmakope, tetapi meliputi pemanfaatan alam  nabati- hewani dan mineral  dalam berbagai aspeknya di bidang farmasi dan Kesehatan.
Share:

0 kritikan:

Posting Komentar